Sabtu, 21 Mei 2016
Senin, 16 Mei 2016
Kenapa Sinjai Disebut Bumi Panrita Kitta?
BUMI Panrita Kitta adalah sebutan Kenapa Sinjai Disebut Bumi Panrita Kitta?
untuk menunjukkan Kabupaten Sinjai yang artinya tanah atau tempat para ulama. Dan, ternyata penamaan tersebut berasal dari sebuah masjid tua yang terletak di jantung Kota Sinjai tepatnya di Jalan Muhammad Tahir, Kelurahan Balangnipa, Kecamatan Sinjai Utara.
Masjid Nur Balangnipa, dibangun pada tahun 1660 masehi. Menurut sejarahnya, masjid ini dulu menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam pada jaman kerajaan –Balangnipa merupakan wilayah Kerajaan Lamatti sebelum Kabupaten Sinjai terbentuk.
Konon, masjid Nur didirikan oleh seorang sayyid keturunan Arab yang bermukim di Pammana Pompanua Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Pembangunan masjid mendapat dukungan para bangsawan Kerajaan Lamatti yang saat itu sudah memeluk agama Islam.
Pasca jaman kerajaan, pembinaan masjid Nur Balangnipa selanjutnya dipimpin Sayyid Abu, seorang sayyid generasi ke-15. Sayyid Abu yang diketahui membentuk organisasi pemuda masjid dan aktif mengembangkan program syiar Islam dengan cara memfungsikan masjid sebagai pusat dakwah dan pendidikan.
Salah satu kader Sayyid Abu yang tersohor di Sinjai adalah Kiayi Haji Muhammad Tahir atau biasa disapa Puang Kali Cambang atau Puang Kali Taherong. Dialah yang kemudian didaulat menjadi takmir masjid Nur Balangnipa saat Sayyid Abu wafat pada tahun 1902.
Dibawah kepemimpinan Kiayi Haji Muhammad Tahir, aktifitas syiar Islam di masjid Nur kian berkembang, bahkan sempat mendirikan organisasi Islam, seperti Nahdatul Ulama, Masyumi, dan Hizbul Wathan. Saat itu, aktifitas pendidikan Islam di masjid Nur Balangnipa juga menelorkan banyak pemuda yang pandai menghafal dan menterjemahkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Karena itulah, Kabupaten Sinjai dinamai Bumi Panrita Kitta, yang artinya tanah para ulama atau tempat orang yang pandai menghafal dan menterjemahkan kitab suci Al-Quran.
“Sejarah membuktikan bahwa di lantai dua masjid Nur Balangnipa ini, dulu menjadi tempat pembinaan agama dan penghafalan Al-Qur'an, sehingga dari masjid inilah muncul penamaan sinjai sebagai Bumi Panrita Kitta, dan sampai sekarang ini kalau shalat tarwih di masjid ini tetap diambil 30 jus atau tamat Al-Qur'an sampai akhir ramadhan," kata Ketua Yayasan Masjid Nur Balangnipa Muhammad Yusuf Ahmad, yang juga adalah keturunan Kiayi Haji Muhamamd Tahir.
Seiring waktu berjalan, renovasi masjid Nur Balangnipa terus dilakukan, hingga pada tahun 1935, tiga buah menara yang menggunakan tangga berbahan kayu berhasil dibangun. Selain kubah dengan tangganya yang terbuat dari kayu, pengelola Yayasan Masjid Nur Balangnipa juga masih menyimpan sejumlah ornamen masjid yang memiliki nilai sejarah masa silam, seperti mimbar unik dari potongan kayu dan gendang penanda waktu sholat. “Sebelum dipugar, ada beberapa ciri khas masjid Nur yang barangkali tidak dijumpai di masjid lain, seperti tanda waktu tidak menggunakan loud speaker tapi memakai gendang, apabila masuk waktu sholat misalnya subuh maka gendang dipukul 2 kali atau saat duhur dipukul 4 kali sesuai rakaat sholat," ujar Muhammad Yusuf Ahmad.
Kendati sudah beberapa kali direnovasi, namun bentuk asli masjid Nur Balangnipa tidak berubah. Pengelola bertekad untuk terus menjaga masjid ini, sebagai rumah ibadah dan bukti sejarah syiar Islam di Bumi Panrita Kitta
BUMI Panrita Kitta adalah sebutan untuk menunjukkan Kabupaten Sinjai yang artinya tanah atau tempat para ulama. Dan, ternyata penamaan tersebut berasal dari sebuah masjid tua yang terletak di jantung Kota Sinjai tepatnya di Jalan Muhammad Tahir, Kelurahan Balangnipa, Kecamatan Sinjai Utara.
Masjid Nur Balangnipa, dibangun pada tahun 1660 masehi. Menurut sejarahnya, masjid ini dulu menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam pada jaman kerajaan –Balangnipa merupakan wilayah Kerajaan Lamatti sebelum Kabupaten Sinjai terbentuk.
Konon, masjid Nur didirikan oleh seorang sayyid keturunan Arab yang bermukim di Pammana Pompanua Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Pembangunan masjid mendapat dukungan para bangsawan Kerajaan Lamatti yang saat itu sudah memeluk agama Islam.
Pasca jaman kerajaan, pembinaan masjid Nur Balangnipa selanjutnya dipimpin Sayyid Abu, seorang sayyid generasi ke-15. Sayyid Abu yang diketahui membentuk organisasi pemuda masjid dan aktif mengembangkan program syiar Islam dengan cara memfungsikan masjid sebagai pusat dakwah dan pendidikan.
Salah satu kader Sayyid Abu yang tersohor di Sinjai adalah Kiayi Haji Muhammad Tahir atau biasa disapa Puang Kali Cambang atau Puang Kali Taherong. Dialah yang kemudian didaulat menjadi takmir masjid Nur Balangnipa saat Sayyid Abu wafat pada tahun 1902.
Dibawah kepemimpinan Kiayi Haji Muhammad Tahir, aktifitas syiar Islam di masjid Nur kian berkembang, bahkan sempat mendirikan organisasi Islam, seperti Nahdatul Ulama, Masyumi, dan Hizbul Wathan. Saat itu, aktifitas pendidikan Islam di masjid Nur Balangnipa juga menelorkan banyak pemuda yang pandai menghafal dan menterjemahkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Karena itulah, Kabupaten Sinjai dinamai Bumi Panrita Kitta, yang artinya tanah para ulama atau tempat orang yang pandai menghafal dan menterjemahkan kitab suci Al-Quran.
“Sejarah membuktikan bahwa di lantai dua masjid Nur Balangnipa ini, dulu menjadi tempat pembinaan agama dan penghafalan Al-Qur'an, sehingga dari masjid inilah muncul penamaan sinjai sebagai Bumi Panrita Kitta, dan sampai sekarang ini kalau shalat tarwih di masjid ini tetap diambil 30 jus atau tamat Al-Qur'an sampai akhir ramadhan," kata Ketua Yayasan Masjid Nur Balangnipa Muhammad Yusuf Ahmad, yang juga adalah keturunan Kiayi Haji Muhamamd Tahir.
Seiring waktu berjalan, renovasi masjid Nur Balangnipa terus dilakukan, hingga pada tahun 1935, tiga buah menara yang menggunakan tangga berbahan kayu berhasil dibangun. Selain kubah dengan tangganya yang terbuat dari kayu, pengelola Yayasan Masjid Nur Balangnipa juga masih menyimpan sejumlah ornamen masjid yang memiliki nilai sejarah masa silam, seperti mimbar unik dari potongan kayu dan gendang penanda waktu sholat. “Sebelum dipugar, ada beberapa ciri khas masjid Nur yang barangkali tidak dijumpai di masjid lain, seperti tanda waktu tidak menggunakan loud speaker tapi memakai gendang, apabila masuk waktu sholat misalnya subuh maka gendang dipukul 2 kali atau saat duhur dipukul 4 kali sesuai rakaat sholat," ujar Muhammad Yusuf Ahmad.
Kendati sudah beberapa kali direnovasi, namun bentuk asli masjid Nur Balangnipa tidak berubah. Pengelola bertekad untuk terus menjaga masjid ini, sebagai rumah ibadah dan bukti sejarah syiar Islam di Bumi Panrita Kitta.
untuk menunjukkan Kabupaten Sinjai yang artinya tanah atau tempat para ulama. Dan, ternyata penamaan tersebut berasal dari sebuah masjid tua yang terletak di jantung Kota Sinjai tepatnya di Jalan Muhammad Tahir, Kelurahan Balangnipa, Kecamatan Sinjai Utara.
Masjid Nur Balangnipa, dibangun pada tahun 1660 masehi. Menurut sejarahnya, masjid ini dulu menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam pada jaman kerajaan –Balangnipa merupakan wilayah Kerajaan Lamatti sebelum Kabupaten Sinjai terbentuk.
Konon, masjid Nur didirikan oleh seorang sayyid keturunan Arab yang bermukim di Pammana Pompanua Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Pembangunan masjid mendapat dukungan para bangsawan Kerajaan Lamatti yang saat itu sudah memeluk agama Islam.
Pasca jaman kerajaan, pembinaan masjid Nur Balangnipa selanjutnya dipimpin Sayyid Abu, seorang sayyid generasi ke-15. Sayyid Abu yang diketahui membentuk organisasi pemuda masjid dan aktif mengembangkan program syiar Islam dengan cara memfungsikan masjid sebagai pusat dakwah dan pendidikan.
Salah satu kader Sayyid Abu yang tersohor di Sinjai adalah Kiayi Haji Muhammad Tahir atau biasa disapa Puang Kali Cambang atau Puang Kali Taherong. Dialah yang kemudian didaulat menjadi takmir masjid Nur Balangnipa saat Sayyid Abu wafat pada tahun 1902.
Dibawah kepemimpinan Kiayi Haji Muhammad Tahir, aktifitas syiar Islam di masjid Nur kian berkembang, bahkan sempat mendirikan organisasi Islam, seperti Nahdatul Ulama, Masyumi, dan Hizbul Wathan. Saat itu, aktifitas pendidikan Islam di masjid Nur Balangnipa juga menelorkan banyak pemuda yang pandai menghafal dan menterjemahkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Karena itulah, Kabupaten Sinjai dinamai Bumi Panrita Kitta, yang artinya tanah para ulama atau tempat orang yang pandai menghafal dan menterjemahkan kitab suci Al-Quran.
“Sejarah membuktikan bahwa di lantai dua masjid Nur Balangnipa ini, dulu menjadi tempat pembinaan agama dan penghafalan Al-Qur'an, sehingga dari masjid inilah muncul penamaan sinjai sebagai Bumi Panrita Kitta, dan sampai sekarang ini kalau shalat tarwih di masjid ini tetap diambil 30 jus atau tamat Al-Qur'an sampai akhir ramadhan," kata Ketua Yayasan Masjid Nur Balangnipa Muhammad Yusuf Ahmad, yang juga adalah keturunan Kiayi Haji Muhamamd Tahir.
Seiring waktu berjalan, renovasi masjid Nur Balangnipa terus dilakukan, hingga pada tahun 1935, tiga buah menara yang menggunakan tangga berbahan kayu berhasil dibangun. Selain kubah dengan tangganya yang terbuat dari kayu, pengelola Yayasan Masjid Nur Balangnipa juga masih menyimpan sejumlah ornamen masjid yang memiliki nilai sejarah masa silam, seperti mimbar unik dari potongan kayu dan gendang penanda waktu sholat. “Sebelum dipugar, ada beberapa ciri khas masjid Nur yang barangkali tidak dijumpai di masjid lain, seperti tanda waktu tidak menggunakan loud speaker tapi memakai gendang, apabila masuk waktu sholat misalnya subuh maka gendang dipukul 2 kali atau saat duhur dipukul 4 kali sesuai rakaat sholat," ujar Muhammad Yusuf Ahmad.
Kendati sudah beberapa kali direnovasi, namun bentuk asli masjid Nur Balangnipa tidak berubah. Pengelola bertekad untuk terus menjaga masjid ini, sebagai rumah ibadah dan bukti sejarah syiar Islam di Bumi Panrita Kitta
BUMI Panrita Kitta adalah sebutan untuk menunjukkan Kabupaten Sinjai yang artinya tanah atau tempat para ulama. Dan, ternyata penamaan tersebut berasal dari sebuah masjid tua yang terletak di jantung Kota Sinjai tepatnya di Jalan Muhammad Tahir, Kelurahan Balangnipa, Kecamatan Sinjai Utara.
Masjid Nur Balangnipa, dibangun pada tahun 1660 masehi. Menurut sejarahnya, masjid ini dulu menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam pada jaman kerajaan –Balangnipa merupakan wilayah Kerajaan Lamatti sebelum Kabupaten Sinjai terbentuk.
Konon, masjid Nur didirikan oleh seorang sayyid keturunan Arab yang bermukim di Pammana Pompanua Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Pembangunan masjid mendapat dukungan para bangsawan Kerajaan Lamatti yang saat itu sudah memeluk agama Islam.
Pasca jaman kerajaan, pembinaan masjid Nur Balangnipa selanjutnya dipimpin Sayyid Abu, seorang sayyid generasi ke-15. Sayyid Abu yang diketahui membentuk organisasi pemuda masjid dan aktif mengembangkan program syiar Islam dengan cara memfungsikan masjid sebagai pusat dakwah dan pendidikan.
Salah satu kader Sayyid Abu yang tersohor di Sinjai adalah Kiayi Haji Muhammad Tahir atau biasa disapa Puang Kali Cambang atau Puang Kali Taherong. Dialah yang kemudian didaulat menjadi takmir masjid Nur Balangnipa saat Sayyid Abu wafat pada tahun 1902.
Dibawah kepemimpinan Kiayi Haji Muhammad Tahir, aktifitas syiar Islam di masjid Nur kian berkembang, bahkan sempat mendirikan organisasi Islam, seperti Nahdatul Ulama, Masyumi, dan Hizbul Wathan. Saat itu, aktifitas pendidikan Islam di masjid Nur Balangnipa juga menelorkan banyak pemuda yang pandai menghafal dan menterjemahkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Karena itulah, Kabupaten Sinjai dinamai Bumi Panrita Kitta, yang artinya tanah para ulama atau tempat orang yang pandai menghafal dan menterjemahkan kitab suci Al-Quran.
“Sejarah membuktikan bahwa di lantai dua masjid Nur Balangnipa ini, dulu menjadi tempat pembinaan agama dan penghafalan Al-Qur'an, sehingga dari masjid inilah muncul penamaan sinjai sebagai Bumi Panrita Kitta, dan sampai sekarang ini kalau shalat tarwih di masjid ini tetap diambil 30 jus atau tamat Al-Qur'an sampai akhir ramadhan," kata Ketua Yayasan Masjid Nur Balangnipa Muhammad Yusuf Ahmad, yang juga adalah keturunan Kiayi Haji Muhamamd Tahir.
Seiring waktu berjalan, renovasi masjid Nur Balangnipa terus dilakukan, hingga pada tahun 1935, tiga buah menara yang menggunakan tangga berbahan kayu berhasil dibangun. Selain kubah dengan tangganya yang terbuat dari kayu, pengelola Yayasan Masjid Nur Balangnipa juga masih menyimpan sejumlah ornamen masjid yang memiliki nilai sejarah masa silam, seperti mimbar unik dari potongan kayu dan gendang penanda waktu sholat. “Sebelum dipugar, ada beberapa ciri khas masjid Nur yang barangkali tidak dijumpai di masjid lain, seperti tanda waktu tidak menggunakan loud speaker tapi memakai gendang, apabila masuk waktu sholat misalnya subuh maka gendang dipukul 2 kali atau saat duhur dipukul 4 kali sesuai rakaat sholat," ujar Muhammad Yusuf Ahmad.
Kendati sudah beberapa kali direnovasi, namun bentuk asli masjid Nur Balangnipa tidak berubah. Pengelola bertekad untuk terus menjaga masjid ini, sebagai rumah ibadah dan bukti sejarah syiar Islam di Bumi Panrita Kitta.
Langganan:
Postingan (Atom)